1.
Pengalaman
Seorang
pasien perempuan berusia 36 tahun dirawat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta
karena mengalami perubahan tingkah laku yaitu bingung, mondar-mandir, tidak
bisa tidur, gelisah, dan merasa berdebar-debar. Selain itu, pasien juga mengaku
melihat bayangan hitam yang menakut-nakutinya. Pasien sudah dirawat di Rumah
Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta sejak sembilan bulan yang lalu, dan ini merupakan
kekambuhan yang kedelapan. Pasien pernah
didiagnosis skizofrenia satu tahun yang lalu. Pasien diketahui memiliki
diabetes dan hiperkolesterolemia. Pasien adalah seorang janda yang tinggal
bersama orang tua. Pasien tidak bekerja, kegiatan pasien saat dirumah hanya
membantu orang tua membuat besek untuk dijual. Pendidikan terakhir pasien yaitu
SLTA. Tidak didapatkan informasi tentang stresor atau faktor psikososial dari
anamnesis dengan pasien. Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami
gangguan jiwa. Saat ini pasien didiagnosis F20.5 (Skizofrenia Residual).
Setelah pasien mendapatkan terapi risperidone 2 x 2 mg, clozapine 1 x 25 mg,
dan trihexyphenidyl 2 x 2 mg, pasien mengaku sudah tidak melihat bayangan hitam
lagi.
2. Masalah
yang dikaji
c. Apakah ada hubungan antara penyakit diabetes dan hiperkolesterolemia yang dialami pasien dengan penggunaan obat antipsikosis atipikal?
3.
Analisis
kritis
a.
Skizofrenia adalah gangguan mental atau kelompok gangguan mental heterogen yang
terdiri dari sebagian besar gangguan psikotik mayor dan ditandai dengan
tergangguanya bentuk dan sisi pikiran, mood, sensasi diri sendiri dan hubungan
dengan dunia luar, dan perilaku. Skizofrenia terkait dengan aktivitas jalur
dopaminergik di otak.
Terdapat
empat jalur utama pada sistem dopaminergik, yaitu jalur mesolimbik, jalur
mesokortikal, jalur nigrostriatal, dan jalur tuberoinfundibular. Jalur
mesolimbik memiliki peran dalam perilaku emosional, antara lain halusinasi dan delusi.
Hiperaktivitas dopamin pada jalur ini memiliki peran terhadap timbulnya gejala positif
psikosis. Pada jalur mesokortikal, hipoaktivitas dopamin menyebabkan munculnya
gangguan kognitif dan gejala negatif
psikosis. Jalur nigrostrital merupakan jalur bagian dari sistem
ekstrapiramidal yang bekerja untuk mengontrol gerakan motorik. Hipoaktivitas dopamin di jalur ini dapat menyebabkan
ekstrapiramidal syndrome (EPS). Jalur tuberoinfundibular berfungsi
memproyeksikan pengeluaran prolaktin dari kelenjar depan pituitary.
Hipoaktivitas dopamin di jalur ini menyebabkan hiperprolaktinemia.
Skizofrenia
terjadi salah satunya akibat hiperaktivitas neurotransmitter dopamin. Keadaan
ini mengganggu keseimbangan terutama jalur mesolimbik, sehingga muncul gejala
diantaranya halusinasi dan delusi. Oleh karena itu, diperlukan antipsikosis
yang memblokade reseptor D2 agar aktivitas dopamin dapat berkurang.
Antipsikosis jenis ini yang dinamakan antipsikosis tipikal (APG I), yaitu
antipsikosis yang memiliki mekanisme kerja spesifik pada reseptor D2. Akan tetapi, hal ini membawa masalah baru,
yaitu hipoaktivitas dopamin pada jalur dopaminegik yang lainnya. Pada jalur
mesokortikal, hal ini menyebabkan timbulnya gejala negatif. Pada jalur nigrostriatal
menyebabkan EPS. Sedangkan pada jalur tuberoinfundibular, hal ini menyebabkan
hiperprolaktinemia.
Antipsikosis
atipikal (APG II) mempunyai mekanisme kerja yaitu memblokade reseptor D2 dan
reseptor serotonin (5-hydroxytryptamine) tipe 2 (5 HT-2). Secara spesifik,
antagonisme pada reseptor 5HT-2 telah disadari penting untuk menurunkan gejala psikotik
dan dalam menurunkan perkembangan gangguan pergerakan berhubungan dengan
antagonisme D2. Kemampuan APG II untuk memblok reseptor 5HT-2 menyebabkan
blokade terhadap reseptor D2 berkurang. Pada jalur mesolimbik, aktivitas antagonis
D2 lebih dominan daripada antagonis 5HT-2, hal ini yang menyebabkan APG II dapat
memperbaiki gejala positif. Pada jalur mesokortikal, APG II lebih berpengaruh
banyak dalam memblokade reseptor 5HT-2, hal ini menyebabkan berkurangnya gejala
negatif. Pada jalur nigrostriatal, aktivitas antagonis 5HT-2 lebih dominan
sehingga resiko EPS minimal. Sedangkan pada jalur tuberoinfundibular, aktivitas
antagonis 5HT-2 lebih dominan sehingga dapat mengurangi resiko hiperprolaktinemia.
Pada kasus
diatas, pasien didiagnosis skizofrenia residual (F20.5), yaitu suatu jenis
skizofrenia yang ditandai oleh satu atau lebih riwayat episode skizofrenia
dengan gejala psikotik yang menonjol, hilangnya gejala-gejala tersebut
belakangan ini, tetapi dengan terus adanya gejala-gejala skizofrenik seperti
ketidaksesuaian afek atau afek tumpul, penarikan diri sosial, perilaku
eksentrik, pemikiran tidak masuk akal, atau melonggarnya asosiasi. Gejala yang
muncul pada skizofrenia jenis ini adalah simtom negatif. Hal ini berarti
terdapat hipoaktivitas dopamin pada jalur mesokortikal. Untuk mengatasi hal
tersebut, dibutuhkan antipsikosis yang memblokade reseptor 5HT-2 dan reseptor
D2. Sehingga, aktivitas dopamin tidak terlalu dihambat dan gejala negatif dapat
teratasi. Oleh karena itu, pemberian antipsikotik yang sesuai adalah APG II.
b. Risperidone
adalah antipsikotik yang memiliki efek samping minimal dan juga dapat
memperbaiki kualitas tidur pada penderita skizofrenia. Tetapi penggunaan risperidone
dalam dosis yang tinggi juga dapat menimbulkan EPS. Hal ini dapat diantisipasi
dengan penggunaan trihexyphenidyl yang memiliki fungsi mengatasi gejala EPS. Selain
itu, penggunaan risperidone memiliki efek samping lain diantaranya insomnia,
maka obat ini baik untuk diberikan pada pagi dan sore hari.
Clozapine memiliki aktivitas
pada reseptor D2 yang kecil, sehingga resiko EPS lebih rendah. Oleh karena itu,
clozapine sangat dianjurkan untuk pasien yang telah resisten maupun yang
menujukkan gejala EPS cukup berat apabila menggunakan obat antipsikotik
lainnya. Tetapi, clozapine memiliki resiko agranulositosis yang lebih tinggi
dan efek sedasi. Menurut penelitian, efek sedasi yang cukup tinggi dikaitkan
dengan pengaruh clozapine yang lebih banyak pada reseptor serotonin (5HT-2A)
dibandingkan obat antipsikotik lainnya. Oleh karena itu, clozapine sesuai untuk
diberikan pada malam hari.
c. Menurut
beberapa penelitian, antipsiotik atipikal menunjukkan beberapa efek samping
yang tidak diharapkan diantaranya kegemukan, kadar lipid yang abnormal,
peningkatan resiko resistensi insulin, dan diabetes mellitus tipe 2. Efek
samping diabetes mellitus yang ditimbulkan oleh pemakaian antipsikotik atipikal
lebih besar daripada neuroleptik yang hanya memblokade reseptor D2. Hal ini
masih menjadi perdebatan. Beberapa laporan kasus membandingkan efek samping
penggunaan clozapin, olanzapin dan haloperidol terhadap resiko diabetes
mellitus, mereka menyatakan bahwa clozapin memiliki resiko terbesar, sedangkan
haloperidol memiliki resiko terkecil. Hal
ini diduga berkaitan dengan APG II yang bekerja pada reseptor serotonergik
(5HT-2C). Beberapa penelitian juga berpendapat hal ini ada kaitannya dengan
pengaruh APG II terhadap aktivitas kanal K+ pada sel beta pankreas. Clozapin
dalam beberapa kondisi menghambat sekresi insulin dari sel beta pankreas,
sedangkan haloperidol tidak memiliki efek yang signifikan. Sehingga, clozapine
dapat menginduksi timbulnya hiperglikemia dan diabetes mellitus. Kesimpulannya,
clozapine memiliki efek dalam aktivitas elektris pada sel beta pankreas tetapi
hanya merefleksikan sebagian saja dalam pengaruhnya pada sekresi insulin. Efek
antipsikotik pada fungsi sel islet dapat berkontribusi dalam abnormalitas
metabolik yang berhubungan dengan obat tersebut, walaupun faktor dari luar islet juga dapat menjadi
penyebab.
4. Dokumentasi
( terlampir )
5. Referensi
Joshi,
R.S. et al. 2016. Sedative effect of
Clozapine is a function of 5-HT2A and environmentalnovelty. Journal
European Neuropsychopharmacology
Kaplan
H.I et al. 1994. Sinopsis Psikiatri Jilid
Satu dan Dua: New York
Maslim,
Rusli DR.dr.Sp.Kj, Mkes. 2013. Buku Saku
Diagnosis Gangguan Jiwa: Jakarta
Dorland,
W.A Newman. 2010. Kamus Kedokteran
Dorland Ed.31. Jakarta: EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar