Kamis, 21 Desember 2017

Refleksi Kasus



1. Pengalaman

Seorang pasien perempuan berusia 36 tahun dirawat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta karena mengalami perubahan tingkah laku yaitu bingung, mondar-mandir, tidak bisa tidur, gelisah, dan merasa berdebar-debar. Selain itu, pasien juga mengaku melihat bayangan hitam yang menakut-nakutinya. Pasien sudah dirawat di Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta sejak sembilan bulan yang lalu, dan ini merupakan kekambuhan yang kedelapan. Pasien  pernah didiagnosis skizofrenia satu tahun yang lalu. Pasien diketahui memiliki diabetes dan hiperkolesterolemia. Pasien adalah seorang janda yang tinggal bersama orang tua. Pasien tidak bekerja, kegiatan pasien saat dirumah hanya membantu orang tua membuat besek untuk dijual. Pendidikan terakhir pasien yaitu SLTA. Tidak didapatkan informasi tentang stresor atau faktor psikososial dari anamnesis dengan pasien. Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami gangguan jiwa. Saat ini pasien didiagnosis F20.5 (Skizofrenia Residual). Setelah pasien mendapatkan terapi risperidone 2 x 2 mg, clozapine 1 x 25 mg, dan trihexyphenidyl 2 x 2 mg, pasien mengaku sudah tidak melihat bayangan hitam lagi.


     2. Masalah yang dikaji

a. Mengapa pasien tersebut diberi terapi antipsikotik atipikal dan bagaimana mekanisme kerjanya?b. Mengapa pasien diberi kombinasi risperidone, clozapine, dan trihexyphenidyl? 
c. Apakah ada hubungan antara penyakit diabetes dan hiperkolesterolemia yang dialami pasien dengan penggunaan obat antipsikosis atipikal?


     3. Analisis kritis

a. Skizofrenia adalah gangguan mental atau kelompok gangguan mental heterogen yang terdiri dari sebagian besar gangguan psikotik mayor dan ditandai dengan tergangguanya bentuk dan sisi pikiran, mood, sensasi diri sendiri dan hubungan dengan dunia luar, dan perilaku. Skizofrenia terkait dengan aktivitas jalur dopaminergik di otak.

Terdapat empat jalur utama pada sistem dopaminergik, yaitu jalur mesolimbik, jalur mesokortikal, jalur nigrostriatal, dan jalur tuberoinfundibular. Jalur mesolimbik memiliki peran dalam perilaku emosional, antara lain halusinasi dan delusi. Hiperaktivitas dopamin pada jalur ini memiliki peran terhadap timbulnya gejala positif psikosis. Pada jalur mesokortikal, hipoaktivitas dopamin menyebabkan munculnya gangguan kognitif dan gejala negatif  psikosis. Jalur nigrostrital merupakan jalur bagian dari sistem ekstrapiramidal yang bekerja untuk mengontrol gerakan motorik.  Hipoaktivitas dopamin di jalur ini dapat menyebabkan ekstrapiramidal syndrome (EPS). Jalur tuberoinfundibular berfungsi memproyeksikan pengeluaran prolaktin dari kelenjar depan pituitary. Hipoaktivitas dopamin di jalur ini menyebabkan hiperprolaktinemia.

Skizofrenia terjadi salah satunya akibat hiperaktivitas neurotransmitter dopamin. Keadaan ini mengganggu keseimbangan terutama jalur mesolimbik, sehingga muncul gejala diantaranya halusinasi dan delusi. Oleh karena itu, diperlukan antipsikosis yang memblokade reseptor D2 agar aktivitas dopamin dapat berkurang. Antipsikosis jenis ini yang dinamakan antipsikosis tipikal (APG I), yaitu antipsikosis yang memiliki mekanisme kerja spesifik pada reseptor D2.  Akan tetapi, hal ini membawa masalah baru, yaitu hipoaktivitas dopamin pada jalur dopaminegik yang lainnya. Pada jalur mesokortikal, hal ini menyebabkan timbulnya gejala negatif. Pada jalur nigrostriatal menyebabkan EPS. Sedangkan pada jalur tuberoinfundibular, hal ini menyebabkan hiperprolaktinemia.

Antipsikosis atipikal (APG II) mempunyai mekanisme kerja yaitu memblokade reseptor D2 dan reseptor serotonin (5-hydroxytryptamine) tipe 2 (5 HT-2). Secara spesifik, antagonisme pada reseptor 5HT-2 telah disadari penting untuk menurunkan gejala psikotik dan dalam menurunkan perkembangan gangguan pergerakan berhubungan dengan antagonisme D2. Kemampuan APG II untuk memblok reseptor 5HT-2 menyebabkan blokade terhadap reseptor D2 berkurang. Pada jalur mesolimbik, aktivitas antagonis D2 lebih dominan daripada antagonis 5HT-2, hal ini yang menyebabkan APG II dapat memperbaiki gejala positif. Pada jalur mesokortikal, APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblokade reseptor 5HT-2, hal ini menyebabkan berkurangnya gejala negatif. Pada jalur nigrostriatal, aktivitas antagonis 5HT-2 lebih dominan sehingga resiko EPS minimal. Sedangkan pada jalur tuberoinfundibular, aktivitas antagonis 5HT-2 lebih dominan sehingga dapat mengurangi resiko hiperprolaktinemia.

Pada kasus diatas, pasien didiagnosis skizofrenia residual (F20.5), yaitu suatu jenis skizofrenia yang ditandai oleh satu atau lebih riwayat episode skizofrenia dengan gejala psikotik yang menonjol, hilangnya gejala-gejala tersebut belakangan ini, tetapi dengan terus adanya gejala-gejala skizofrenik seperti ketidaksesuaian afek atau afek tumpul, penarikan diri sosial, perilaku eksentrik, pemikiran tidak masuk akal, atau melonggarnya asosiasi. Gejala yang muncul pada skizofrenia jenis ini adalah simtom negatif. Hal ini berarti terdapat hipoaktivitas dopamin pada jalur mesokortikal. Untuk mengatasi hal tersebut, dibutuhkan antipsikosis yang memblokade reseptor 5HT-2 dan reseptor D2. Sehingga, aktivitas dopamin tidak terlalu dihambat dan gejala negatif dapat teratasi. Oleh karena itu, pemberian antipsikotik yang sesuai adalah APG II.

b.    Risperidone adalah antipsikotik yang memiliki efek samping minimal dan juga dapat memperbaiki kualitas tidur pada penderita skizofrenia. Tetapi penggunaan risperidone dalam dosis yang tinggi juga dapat menimbulkan EPS. Hal ini dapat diantisipasi dengan penggunaan trihexyphenidyl yang memiliki fungsi mengatasi gejala EPS. Selain itu, penggunaan risperidone memiliki efek samping lain diantaranya insomnia, maka obat ini baik untuk diberikan pada pagi dan sore hari.

Clozapine memiliki aktivitas pada reseptor D2 yang kecil, sehingga resiko EPS lebih rendah. Oleh karena itu, clozapine sangat dianjurkan untuk pasien yang telah resisten maupun yang menujukkan gejala EPS cukup berat apabila menggunakan obat antipsikotik lainnya. Tetapi, clozapine memiliki resiko agranulositosis yang lebih tinggi dan efek sedasi. Menurut penelitian, efek sedasi yang cukup tinggi dikaitkan dengan pengaruh clozapine yang lebih banyak pada reseptor serotonin (5HT-2A) dibandingkan obat antipsikotik lainnya. Oleh karena itu, clozapine sesuai untuk diberikan pada malam hari.

c.     Menurut beberapa penelitian, antipsiotik atipikal menunjukkan beberapa efek samping yang tidak diharapkan diantaranya kegemukan, kadar lipid yang abnormal, peningkatan resiko resistensi insulin, dan diabetes mellitus tipe 2. Efek samping diabetes mellitus yang ditimbulkan oleh pemakaian antipsikotik atipikal lebih besar daripada neuroleptik yang hanya memblokade reseptor D2. Hal ini masih menjadi perdebatan. Beberapa laporan kasus membandingkan efek samping penggunaan clozapin, olanzapin dan haloperidol terhadap resiko diabetes mellitus, mereka menyatakan bahwa clozapin memiliki resiko terbesar, sedangkan haloperidol memiliki resiko  terkecil. Hal ini diduga berkaitan dengan APG II yang bekerja pada reseptor serotonergik (5HT-2C). Beberapa penelitian juga berpendapat hal ini ada kaitannya dengan pengaruh APG II terhadap aktivitas kanal K+ pada sel beta pankreas. Clozapin dalam beberapa kondisi menghambat sekresi insulin dari sel beta pankreas, sedangkan haloperidol tidak memiliki efek yang signifikan. Sehingga, clozapine dapat menginduksi timbulnya hiperglikemia dan diabetes mellitus. Kesimpulannya, clozapine memiliki efek dalam aktivitas elektris pada sel beta pankreas tetapi hanya merefleksikan sebagian saja dalam pengaruhnya pada sekresi insulin. Efek antipsikotik pada fungsi sel islet dapat berkontribusi dalam abnormalitas metabolik yang berhubungan dengan obat tersebut, walaupun faktor dari luar islet juga dapat menjadi penyebab.



    4. Dokumentasi ( terlampir )

  

    5. Referensi

Best, Leonard et al. 2005. Actions of antipsychotic drugs on pancreatic beta cell function: contrasting effects of clozapine and haloperidol. Journal of Psychopharmacology

Liberty I. Furstenberg. MD et al. 2004. Atypical Antipsychotics and Diabetes Mellitus: An Association. Israel Medical Association Journal (IMAJ)

Joshi, R.S. et al. 2016. Sedative effect of Clozapine is a function of 5-HT2A and environmentalnovelty. Journal European Neuropsychopharmacology

Kaplan H.I et al. 1994. Sinopsis Psikiatri Jilid Satu dan Dua: New York

Maslim, Rusli DR.dr.Sp.Kj, Mkes. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Jakarta

Dorland, W.A Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Ed.31. Jakarta: EGC