Sore Tugu Pancoran
Si Budi kecil kuyup menggigil
Menahan dingin tanpa jas hujan
Di simpang jalan Tugu Pancoran
Tunggu pembeli jajakan koran
Menjelang maghrib hujan tak reda
Si budi murung menghitung laba
Surat kabar sore dijual malam
Selepas isya melangkah pulang
Anak sekecil itu berkelahi dengan
waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat
nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang lemah
jarimu terkepal
Cepat langkah waktu pagi menunggu
Si Budi sibuk siapkan buku
Tugas dari sekolah selesai
setengah
Sanggupkah Si Budi diam di dua
sisi
Familiarkah lirik tersebut di
ingatan kalian? Ya, ini adalah lagunya Bang Iwan Fals yang berjudul Sore Tugu
Pancoran. Percaya nggak percaya, aku baru tau lagu ini..hihi. Mungkin kalian mikir
aku ketinggalan jaman banget ya, tapi beneran deh aku baru denger. Dan eng ing
eng, aku langsung jatuh hati sama lagu ini. Liriknya ngena banget. Aku sampe
bayangin lho padahal aku belum pernah ke Tugu Pancoran.
Dan fyi lagu ini bukan satu
satunya lagunya Bang Iwan yang aku suka. Banyak banget lagunya Bang Iwan yang
klik banget di hati. Tapi kali ini aku mau cerita tentang lagu ini. Ya, cerita,
sekedar cerita, tentang efek lagu ini buat aku. Lebay? Hihihi percaya deh lebih
banyak yang lebih lebay dari ini.
Awalnya, aku iseng aja buka
youtube cari lagunya Bang Iwan yang Bento. Aku juga suka tuh lagunya. Setelah
Bento selesei diputer,terus aku iseng buka lagu ini, karna aku pikir lagu apaan
nih kok sore tugu pancoran. Emang Patung Pancorannya kenapa?#plak
Begitu di dengerin, intronya enak
banget, tenang, apa adanya, sederhana, dan begitu mulai nyanyi,
nyess...feelingku yakin aku bakal nangis nih...dan beneran, berapa detik
kemudian mataku panas, pandangan kabur. Yahh Bang Iwan, mewek dah guwa...
Mungkin banyak disekitar kita
yang mengalami kondisi seperti yang tergambar di lagu tersebut. Aku yang ga
peka. Aku yang cuek. Dan lagu ini seakan menyadarkanku, membuka mataku kalo ini
lho gambaran kehidupan mereka yang belum tentu bisa kamu hadapi. Begitu lirik
mulai dinyanyikan, aku mulai membayangkan apa yang coba Bang Iwan sampaikan di
lagu ini...
Si Budi kecil kuyup menggigil.
Yang ada dibayanganku saat itu seorang anak laki laki kecil, dengan baju lusuh
kebesaran berwarna biru. Kulit yang coklat terbakar, wajah yang tertutup debu
dan asap knalpot.
Menahan dingin tanpa jas hujan. Cuacanya
hujan, anak itu sampe bibirnya pucat gemetaran tetapi dengan pandangan yang
biasa saja seolah hal itu sudah biasa dia rasakan. Tanpa jas hujan pun dia tak
masalah.
Di simpang jalan Tugu Pancoran.
Bocah itu berada di pinggir jalan, sendirian diantara banyak kendaraan berlalu
lalang, diantara banyak orang, keluarga, pasangan yang lewat di depannya.
Tunggu pembeli jajakan koran. Ya,
dia adalah sang penjual koran, yang sering kita lihat di jalan, yang mungkin
kerap kita abaikan.
Menjelang maghrb hujan tak reda.
Matahari telah lelah bertengger di cakrawala, tetapi bocah kecil itu belum
menyerah, waktunya belum usai. Meskipun hujan belum juga reda, tetapi dia yakin
ada pembeli yang akan datang membeli dagangannya. Biarlah hujan yang
menemaninya, menggantikan matahari yang lebih dulu pamit.
Si budi murung menghitung laba.
Sembari menunggu, ia menghitung penghasilannya hari ini, rupiah demi rupiah,
receh demi receh, dan lembaran uang kertas ribuan yang lusuh. Berapa untungnya,
atau malah kerugiannya hari ini. Ya, saat hujan orang-orang memang jarang yang
membeli koran. Dan hari ini hujan datang, tak banyak yang bisa dia lakukan.
Surat kabar sore dijual malam.
Tetapi dia tak menyerah begitu saja pada keadaan, dia tetap menjajakan
korannya. Budi yang malang tetap berusaha.
Selepas isya melangkah pulang.
Setelah adzan isya berkumandang, saatnya bagi dia pulang ke rumah Kembali ke
pelukan keluarganya. Makan dengan lahapnya setelah seharian bekerja, tentunya
dengan menu sederhana ala kadarnya.
Anak sekecil itu berkelahi dengan
waktu. Bocah itu masih kecil, semua orang tau itu. Tetapi mereka tak tahu
betapa berat kehidupannya, seberapa kuat perjuangannya, seberapa kokoh
keteguhannya, dan seberapa suci harapan dan impiannya.
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu. Lirik ini yang paling
nampar aku. Beneran, aku nyes banget denger kalimat ini. Seakan aku itu
pemalas, nggak tau diuntung, dan yang jelas kurang bersyukur. Aku yang awam ini
sih sebenarnya nggak tau lirik ini maksud bang iwan apa, tetapi saat denger
pertama kali, aku ngrasa maksudnya sekolah. Satu impian, dia ingin sekolah,
ingin tetap sekolah. Yang kerap ganggu tidurmu. Kita umumnya males banget kan
waktu bangun pagi. Rasanya ini kepala pingin nempel terus sama bantal. Berat
banget nih mata buat melek, apalagi nggerakin badan. ‘Duh, masuknya pagi amat
sih, aturan masuk jam 10 aja biar gue bisa tidur lebih lama. Ah, kapan sih hari
minggunya, masih pingin tidur nih’ Sekolah, yang sering kita sambut dengan muka
masam saat ibu kita membangunkan dan mengingatkan kita. Ternyata itu yang
mati-matian dia perjuangkan. Sekolah, yang buat dia berdiri seharian di pinggir
jalan menawarkan koran, menghadapi panas menahan haus dan lapar. Dan yang
paling miris, menghadapi sikap acuh dan tidak dihiraukan oleh orang orang yang
dia tawari dengan senyum dan harapan yang terselip di hatinya.
Anak sekecil itu tak sempat
nikmati waktu. Disaat anak anak yang lain bermain, bersenang senang, bermanja
manja dengan orang tua, dia, Budi, si bocah penjual koran, harus merelakan masa
kecilnya untuk bekerja. Jujur gue nggak bisa bayangin apa yang ada
dipikirannya. Pernah nggak sih dia iri dengan teman-temannya? Pernah nggak dia
menyesalkan kehidupannya yang seperti itu? Dan pernah nggak sih dia merasa Tuhan
itu nggak adil? Ya Allah, ampuni hambamu ini. Aku benar benar merasa bodoh,
merasa lembek, merasa nggak berguna, merasa malu sendiri membayangkan saat aku
dengan pongahnya mengeluh pada Tuhan bahwa aku cape, aku nggak kuat, aku ingin
kaya gini, ingin kaya gitu, seenak jidat gue.
Dipaksa pecahkan karang lemah
jarimu terkepal. Kehidupan memang begitu keras mendidik bocah itu, tak peduli
tangannya yang kecil dan lemah, tak pandang tenaganya yang pas-pasan. Sehingga
kerap dia hanya memandang kosong kedua tangannya yang bergetar lelah ingin
diistirahatkan.
Cepat langkah waktu pagi menunggu.
Seolah tak cukup berat, pagi dengan cepat merangkak. Matahari kebali bersinar
dengan cerhanya setelah semalaman beristirahat.
Si Budi sibuk siapkan buku. Dan
waktunya Budi untuk bersekolah. Dia semangat menyiapkan bukunya. Memakai
seragam sekolahnya yang lusuh. Memakai sepatu yang tak kalah lusuh, yang dia
beli bertahun tahun yang lalu, di pasar loak.
Tugas dari sekolah selesai
setengah. Inilah yang menyedihkan, dia tak bisa menyelesaikan tugasnya. Aku
berpikir, aku saja yang diberi kebebasan dari siag sampai malam untuk
mengerjakan tugas sering tuh akhinya cuma selesei setengah, atau malah sama
sekali ngga tersentuh. Alasannya klise, malas. M A L A S.
Sanggupkah Si Budi diam di dua
sisi. Aku bertanya-tanya, kira-kira sanggup nggak ya Budi terus bersekolah,
sekaligus bekerja seperti itu... Cape, pusing, mendingan juga kerja. Duit sekoahnya bisa buat jajan,
waktu buat jualan juga jadi lebih banyak. Mungkin itu yang aku pikirin aku aku
berada di posisi Budi. Anak yang lembek dan bodoh yang cuma cari enaknya aja.
Ya, aku mungkin seperti itu.
Intinya, Bang Iwan sukses
menyadarkan aku bahwa kehidupan ini keras. Kita yang masih bergantung pada
orang tua mungkin belum benar-benar merasakannya. Tapi lihatlah mereka, yang
sedari kecil sudah merasakan sulitnya mencari uang, pasti lebih paham akan arti
kehidupan. Kita yang saat ini hanya bisa menghamburkankan uang, patut menimba pelajaran dari si Budi kecil ini. Memang pelajaran hidup itu bisa di dapatkan dari siapa saja,
dan kali ini, hal itu aku dapatkan dari seorang anak kecil penjual koran, lewat
lagu dari Bang Iwan Fals ini.